× -bahasa-

×

view_list1.png Artikel     view_masonry.png Galeri     view_list2.png Video    
×
  • url:
×
×
×
1 0 0 0 0 0
1
   ic_mode_light.png

Where's Indonesia People

Pukul 03.40 


"Duuuuarrrrrr!" suara dari luar mengejutkanku.


Ledakan yang aku dengar rasanya hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berada. Lagi-lagi, teror rangkaian atom berhasil ditancapkan pasukan Bashar Al Assad. Dalam ruangan di rumah Amien Husein, semua tampak khawatir memastikan situasi yang ada. Mengingat konflik yang tengah berkecamuk lima tahun terakhir di Kota Allepo, masih belum juga menemukan titik terang.


Untuk pertama kalinya aku mendapatkan tugas meliput di daerah perang. Meskipun awalnya bersemangat untuk melakukan tugas ini, tapi nyatanya setelah berada di tempat kejadian, semua terasa seakan bertentangan dengan nyali. Situasi diluar masih sangat berbahaya, tidak ada yang tahu kapanpun serangan bom akan kembali terulang. Namun profesiku sebagai pencari informasi, hal ini merupakan moment penting yang layak untuk disiarkan. 


Semua keluarga Amien masih terpaku dengan suara ledakan bom yang baru saja terjadi. Aku menatap Lee yang duduknya tidak jauh dari Amien. Dia memberi isyarat agar kita cepat ke lokasi kejadian untuk mengambil gambar. Tanpa berpikir panjang, dengan segera aku mengambil jaket tebal atau perlengkapan kamera yang telah disediakan oleh kantor.


Setelah selesai, aku kembali ke ruang tamu.  Dari jendela besar kulihat Amien, Mr. Syahid serta tetangga lainnya tampak sedang membicarakan sesuatu. Sementara ibu atau kedua adik Amien tetap duduk di kursi semula. Sambil menunggu Amien kembali untuk meminta petunjuk jalan, Lee mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Mrs.Syahid berbicara. 


“Berapa lama kita bisa sampai kesana Ny.Syahid?” tanya Lee


“Apa kamu sudah tidak waras? Disini sangatlah berbahaya” Jawab wanita yang tidak lain ibu Amien


“Ini waktu yang terbaik Ny.Syahid” balasnya dengan santai


“Apakah kamu menganggap perang ini sebagai waktu terbaik?” menatap Lee


“Bukan itu maksud saya Ny.Syahid, Anda salah paham” pungkasnya lagi


“Salah paham? Untuk kesekian kalinya orang berdatangan ke Allepo berkerja mencari uang ditengah keadaan kami yang sedang menderita”  dengan nada tinggi yang membuatku terkejut   


“Saya tahu Allepo tetap berbahaya sejak empat tahun terakhir atau saya tahu masyarakat disini menderita. Tapi apakah Ny.Syahid pernah berpikir tentang bantuan atau beberapa relawan yang datang luar negeri berawal dari berita yang dinformasikan lewat media? Ny salah besar jika kami hanya sebatas mencari keuntungan.”  sanggahnya


Situasi semakin memburuk setelah percakapan antara Lee atau Mrs.Syahid. Aku memutuskan mengajak Lee keluar atau memanggil Amien ditengah percakapannya. Setelah meyakinkan Amien dalam beberapa menit, dia mulai petunjuk dengan peta yang digambarkannya. Meskipun semua sudah tampak jelas, Amien selalu mengingatkan kami untuk tetap berhati-hati.


Di pos penjagaan kami bertemu dengan beberapa orang bercadar lengkap dengan senjata ditangannya. Sebelum hendak keluar dari distrik Al-Sakan, kami ditodongkan senjata untuk menunjukkan identitas diri. Meskipun hanya melakukan hal sederhana, perlakuan tersebut cukup mengejutkan di hari pertama. Kami mulai berjalan menyusuri tempat-tempat sesuai arahan peta.


Beberapa tempat terlihat aman meskipun situasi mencekam masih terasa. Sesekali kami temukan para penjaga yang juga meminta menunjukkan identitas atau melihat hasil rekaman. Kami tiba di Masaken Al-Buhus, tempat inilah yang satu jam sebelumnya mendapatkan serangan dari pemerintah Suriah. Kondisinya memang rusak berat, belum lagi beberapa mayat yang tergeletak di pinggir reruntuhan belum bisa dievakuasi.


Selama satu jam kami mencoba mengambil beberapa gambar di tempat kejadian. Beruntung saat itu ada camp relawan dari Korea Selatan, sehingga memudahkan kami mengirim berita dengan cepat ke kantor pusat menggunakan koneksinya. Lee berbicara dengan beberapa diantara mereka mengunakan bahasanya yang tidak aku mengerti. Sementara aku menyaksikan mereka yang tengah sibuk, menangis, berteriak tentang Bashar Al Assaad atau terpaku pada kotanya yang tiba-tiba hancur.


Ditengah kondisi seperti ini, aku memikirkan tentang bagaimana perang saudara dapat mengancurkan negara hanya dengan satu tembakan. Semua yang terjadi menyulut beberapa kaum atau membentuk militan masing-masing. Yang aku tahu saat ini, peperangan di Allepo terjadi diantara beberapa kubu, pertama tentang pasukan pro Bashar Al Assad yang tidak lain pasukan pemerintah yang di dukung Rusia serta Iran.


Sementara di sisi lain terdapat kelompok pembebasan atau opsisi yang nota bene menguasai timur Allepo. Namun yang kulihat sebenarnya kelompok mereka tidaklah terlalu banyak. Masih ada golongan-golongan lain yang tentu turut menjadi bagian dalam peperangan. Terutama kelompok radikal ISIS yang sengaja muncul memperparah kondisi di Allepo.


Setelah beberapa jam ditempat kejadian, secara tidak sengaja aku mendengar percakapan antara orang bercadar di dekat camp berwarna hitam. Walapun aku tidak mengerti tentang apa yang bicarakan, setidaknya aku mendengar jelas tentang Al-Sakan atau Al-Shababi. Saat aku mengeluarkan smart phone untuk merekam percakapan mereka, tiba-tiba seseorang mengambilnya dari tanganku. Belum sempat kulihat wajahnya, dia mendorongku ke tempat camp  yang semula.


“Waktunya kembali” bisik orang yang suaranya sudah kukenali


            Lee menertawakan ekspresi ketakutanku, aku hanya bisa mencubitnya karena orang bercadar mulai mencoba memberi peringatiku. Dari sana Lee mengajakku kembali ke rumah Amien Husain. Selama diperjalanan Lee menceritakan tentang rindunya suasana negeri gingseng. Dia berjanji untuk membawaku suatu saat ke tempat tinggalnya.


            Aku mengenal Lee saat kami satu sekolah di University Technology of Sydney. Dia adalah teman di akhir tahun semesterku. Dari beberapa orang asia lainnya, Lee salah satu mendapatkan beasiswa pemerintah Australia sepertiku. Tidak pernah kusangka, setelah kelulusan aku mendapatkan pekerjaan di media yang sama.


            Ini bukan untuk pertama kalinya aku menjadi juru kameramen untuknya. Permintaan redaksi yang sering kali meminta kami menjalankan tugas liputan bersama. Banyak yang bisa aku pelajari dari Lee selama ini, terutama tentang budaya Korea dengan industri kreatifnya.  Begitupun Lee yang aku rasa dia mulai terbiasa mendengar celotehanku dalam bahasa Indonesia, yang sesekali ditirunya.


            Kami tiba di distrik Al-Sakan sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Aku masih mengingat percakapan tadi pagi antara Lee atau Ny.Syahid. Mungkin hal itu akan membuat kami merasa canggung berada diantara keluarga Amien. Sebelumnya aku mendapatkan tugas untuk meliput aktivitas masyarakat di Allepo Timur, namun setelah dua jam sekembalinya kami ke distrik tidak ada satupun aktivitas yang berarti. Terkecuali penjaga bercadar tadi.


            Aku mulai mengambil beberapa gambar kondisi terkini terkait distrik setempat. Tidak lama kemudian Amien menyapa kami dari belakang. Dia tetap terlihat tenang sambil mengajak kami untuk makan siang. Dengan semangat aku segera membereskan peralatan, atau menghampiri meja yang lengkap dengan beberapa roti gandum serta susu.


            Ditengah aktivitas makan siang, aku mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di distrik ini. Namun Amien tidak sepenuhnya mengetahui, pasalnya ia sama-sama baru tiba di Allepo kemarin sore. Amien salah satu teman dikampusku dulu, aku mengenalnya saat sering melakukan diskusi lintas jurusan. Dia merupakan warga asli Allepo Timur, itu sebabnya ketika mendapatkan tugas ke tempat perang ini aku langsung menghubunginya.


“Amien, tadi pagi aku tidak bermaksud untuk berdebat dengan ibumu” Lee mengawali


“Aku paham maksudmu, mungkin ibu merasa ketakutan yang berlebihan” jawab Amien mudah


“Apa ibumu masih marah?” tanyaku penasaran


“Tidak, ibuku pemaaf hanya saja sesekali dia tidak bisa mengatur moodnya” sambil tersenyum


“Sykurlah” ungkap Lee merasa lega


“Apa yang kalian dapatkan tadi?” Sambung Amien


Aku menjelaskan tentang malangnya distrik disana. Semua orang bergeletakkan di tengah puing reruntuhan. Amien hanya meneteskan air mata, melihat kotanya yang hancur satu per satu. Hal yang membuatku bingung sebenarnya, kenapa setiap distrik tidak datang untuk membantu. Namun Amien menjelaskan, ketika hendak menolong kita tidak boleh gegabah karena bisa saja kita menjadi umpan untuk golongan-golongan tertentu.


Teringat tentang percakapan orang-orang bercadar di camp hitam, aku mulai memberitahu Amien. Lee tampaknya mendahuluiku, dia mulai memutar rekaman yang ternyata telah direkamnya lebih dulu. Setelah mendengarkan semuanya, Amien tampak terkejut. Perbincangan selama tujuh menit itu menyimpulkan bahwa rencana selanjutnya untuk mengelabui pemerintah untuk menghancurkan distrik Al-Sakan atau Al-Shababi.


Amien mulai memberitahu ayahnya dengan segera. Sore itu, beserta pemipmpin dari kedua kelompok distrik berkumpul mengatur strategi atau memastikan keamanan setempat. Situasi ini sangat baik jika dijadikan berita, namun strategi tidak mungkin dengan mudah menjadi informasi yang dikonsumsi masyrakat luas. Kuperhatikan diantara mereka yang merasa kesal terhadap teroris, sudah empat tahun menjadi boneka yang tidak tahu dengan jelas dimana letaknya keadilan pemerintah Suriah.


Kelompok ini memang sempat memprotes tentang kebijakan pemerintahan Bashar Al-Assad. Namun setelah tiga tahun terakhir mereka menyadari kekuatan besar seperti itu tidak mungkin di robohkan hanya dengan berorasi ataupun melakukan peperangan. Saat itu, lima distrik ini memutuskan untuk datang ke Allepo Barat atau menyatakan pro pemerintah. Tapi sayangnya ditengah perjalanan mereka dihadang oleh beberapa pasukan atau setidaknya kehilangan ratusan warga dari ketiga distrik.


Sampai saat ini, kami hanyalah menjadi golongan yang tidak memperdulikan tentang keberpihakan. Yang terpenting sekarang menjaga kebersamaan ditengah-tengah orang yang masih bisa berpikir rasional. Jangan sampai tempat yang selama ini menjaga kita, justru hancur oleh orang-orang yang dijaganya. Rapat itupun berakhir tepat pukul delapan malam, merasa lelah aku segera kembali ke rumah Amien untuk beristirahat.


Aku membereskan kembali pelatan atau perlengkapan yang ku bawa. Besok siang Aku atau Lee akan kembali ke Australia, dibantu menggunakan helikopter dubes Australia untuk Suriah. Ketika merebahkan tubuhku di ukuran tempat tidur yang lebarnya satu meter, aku terkejut mendapati tempat tidurku bergoyang akibat ledakan bom yang persis seperti dihalaman rumah Amien. Semua orang ribut diluar rumah, aku langsung memastikan kamera merekan semua adengan yang terjadi di malam itu.


Enam kali ledakan rasanya cukup menyulitkanku untuk mendapatkan gambar terbaik. Setelah semuanya reda dalam waktu dua jam, aku menarik Lee untuk segera melaporkan situasi. Hanya butuh waktu 25 menit untuk menyampaikan informasi ke kantor pusat. Tepat setelah semuanya terkirim, Lee mendapatkan telepon dari kantor agar cepat berkemas karena jadwal penjemputannya akan segera dipercepat.


Semua tampak masih dalam keadaa terkejut, terkecuali Amien atau pemuda lainnya yang mulai mengevakuasi beberapa korban atau membanya ke tempat rahasia rancangan Tuan Syahid. Setelah itu mereka melakukan manipulasi korban dengan pewarna makanan, untuk meyakinkan bahwa semakin banyak korban yang jatuh di distrik tersebut. Aku mencoba memberi tahu Amien bahwa dalam waktu tiga tiga jam mendatang akan datang helikopter dubes Australia yang akan menjemput kami.


Amien mengangguk memahami maksud yang aku sampaikan. Setelah menunggu tiga jam lamanya, akhirnya helikopter datang menjemput kami. Setelah beberapa saat duduk di dalam heli, seseorang dengan jas hitamnya meminta kami untuk turun di Allepo Barat. Dubes telah meminta kantor media untuk mengirim kalian memantau situasi Allepo.


Baru mengehela nafas atau terbebas dari ganasnya ultimatum dari blok barat, kini kita harus merasakan menjadi bagiannya. Aku berjanji akan memukul orang-orang yang melakukan pengeboman saat aku bertemu nanti. Kami hanya diberi kertas putih yang berisikan alamat untuk kami tinggal. Helikopter mendarat ditempat yang sama, tepatnya di kota mati yang mengerikan.


Berkeliling mencari seseorang yang bisa kutanyakan tentang alamat ini. Nyatanya tidak ada seorangpun yang aku temui. Lee tampak mulai gusar mempertanyakan keberadaan kita saat ini. Aku mulai berteriak meminta tolong, namun hasilnya tetap saja nihil. Saat Lee mulai mencoba berteriak tiba-tiba pasukan bercadar mulai muncul kembali, menodongkan pistol pada kami.


Aku memberikan kertas tulisan tadi, lalu mereka membawa kami ke tempatnya. Setelah ku perhatikan, ternyata kini aku berada di front Fath A-Syah. Ditempat inilah yang paling berbahaya setauku, karena disini penembakkan hampir terjadi setiap harinya. Mendapati diri dengan kecemasan luar biasa, Aku atau Lee mendapatkan tempat paling atas di sebuah gedung yang sebagian bagunannya telah hilang.


Tidur beberapa jam beralaskan jaket, tidak terasa matahari mulai menerangi ruangan ruangan lewat lubang yang tidak sengaja terbentuk. Saat itu kuperhatikan dua algojo bercadar hendak naik ke lantai atas. Aku dengan segera membangunkan Lee, tepat mereka tiba Lee akhirnya terbanggun. Mereka berbicara agar kami segera berkemas, sebentar lagi akan dilakukan makanan akan segera dihidangkan.


Belum sempat aku menghabiskan makanan, lemparan meriam mulai terdengar dimana-mana. Aku dengan beberapa orang masuk ke dalam ruangan kecil. Dari sana kami melihat aksi heroik yang dilakukan bocah kecil menyelamatkan teman perempuannya. Semua tampak terkejut seraya menyebutkan “Allahhuakbar” beberapa kali.


Beberapa jam setelah mereda, semua orang memastikan tentang keselamatan mereka. Orang tuanya pun menangis sambil mengucapkan terimakasih atas aksi penyelamatannya. Aku mulai mencari orang yang merekam aksi tadi, namun sayangnya disini koneksi jaringan sangtlah buruk. Sehingga tidak memungkinkan untuk mengirimkan berita.


Aku mulai mempertanyakan kemana perginya Lee. Namun seseorang membawaku ke gedung atau memberikan sepucuk surat. Aku membacanya dengan teliti atau hati-hati, ini semua berisi tentang perang yang baru saja terjadi merupakan siasat pemerinntah Korsel untuk menyelamatkan Lee. Menurutnya di tempat ini akan dibumi hanguskan tidak lama lagi, dia juga meminta maaf karena telah mengirim gmail darurat kepada pemerintah Korsel tanpa memberi tahuku.


Ku sobek kertas yang diberikan pria sinting itu. Perkataan Ny.Syahid memang benar tentang orang gila yang datang ke medan perang mencari keuntungan. Dia memanfaatkanku menggali informasi selepas itu dia pergi mengatasnamakan pemerintah Korsel. Inginku banting semua reruntuhan dihadapanku, namun ledakan lebih keras dari pada suaraku.


Dengan cepat aku bergegas membawa perlengkapanku atau bergabung di tempat persembunyian tadi. Aku berbicara dengan seseorang yang bisa berbahasa Inggris. Dia memberi tahuku soal tempat dengan koneksi yang cukup tinggi. Ditengah perang yang terjadi aku mencoba melarikan diri ke tempat tersebut, beruntung setelah melalui beberapa hambatan akhirnya aku tiba disana.


Tempat ini kelompok Jeish Al-Fatah, mereka merupakan kelompok pemberontak yang selalu melakukan perlawanan kepada pemerintahan Suriah. Di tempat ini ternyata aku diterima baik, mereka mengetahui kemampanku sebagai orang media. Saat itu mereka mengijinkanku atau memberi akses untuk segalanya, dengan catatan membantu mereka melakukan aksi teror melalui database kepada pemerintah Suriah, Rusia atau Iran dengan mencatutkan distrik-distrik di Allepo Timur.


Akhirnya aku mulai menyadari siapa dalang diantara adu domba kedua blok besar. Demi keselamtanku saat ini, aku mulai menyetujui permintaan mereka. Dengan cepat aku membuka gmail, memerintahkan redaksi kantor untuk segera menjemputku di Allepo. Belum selesai aku menjelaskannya dalam pesan tersebut, tiba-tiba samurai itu memotong rambutku.


“Keinginanmu tidak semudah itu, jika kau menggap tempat ini sebagai bandara maka samurai yang akan berbicara”


Dalam sekejap aku memahami apa yang dikatakannya. Melihat ke bawah lantai rambutku tidak bisa aku selamatkan lagi. Berminggu-minggu aku mengikuti perintah dari pemimpin pasukan untuk segera melakukan teror tersebut. Berkali-kali aku mendengar Allepo Timur mendapatkan serangan dari Allepo Barat. Diatas komputer ini, aku membunuh ratusan orang yang tidak bersalah di Allepo demi keselamtanku.


Dari sana aku mendapatkan diriku mulai merasa ketakutan yang luar biasa. Setiap harinya aku mulai mengirimkan gmail terhadap teman-temanku di Indonesia ataupun Australia. Pesan yang aku kirim hanya bisa berupa teka-teki, karena gmailku masih diawasi oleh kelompok Jeish Al-Fatah. Tidak ada reaksi yang berarti, semua orang tidak mengerti apa yang aku sisipkan dalam teka-teki tersebut.


Aku mendapatkan jawaban salah satu teman redaksi. Namun yang tidak kupahami kantor redaksi tidak menanggapi hal ini sama sekali. Dia menjelaskan bahwa media kini tengah berada di bawah tekanan pemerintahan Australia akibat ulahku pada wawancara di Canberra. Itu sebabnya mereka mencampakan atau membiarkanmu mati di Allepo, setelah itu mereka akan membuat berita kebohongan atas kematianmu.


Kejadian wawancara di Canberra, sambil mengingat-ingat kejadian. Aku mempertanyakan soal moral pemimpin yang melecehkan pemimpin negara lain, terutama Indonesia. Karena pertanyaan itu sekarang mereka membunuhku secara perlahan. Kupastikan semua orang tidak berada di dalam hari ini, aku harus segera meminta bantuan dari Indonesia. Seluruh pesanku aku kirim ke beberapa media atau teman lainnya, namun yang aku dengar suara peluru peringatan serta berbagai helikopter yang mengepung tempat tersebut.


Aku dibawa oleh pasukan tentara Bashar Al-Assad. Semua yang kulihat tidak satupun yang tampak seperti anggota Jeish Al-Fatah. Lenganku diikat atau didorong-dorong, mereka mempertanyakan kemana kelompok anggota lainnya dari pasukan ini. Aku kebingungan karena memang benar aku tidak tahu atau menjadi orang ceroboh yang diperalat.


Setelah sampai di suatu tempat dengan banyak orang yang memakai seragam tentara. Aku mulai diseret kembali ke tangah kerumunan. Jika aku tidak menjawab mereka akan memberikanku cambukkan keras. Aku mulai berbicara dengan bahasa asingku sebisa mungkin. Mereka menertawakanku saat aku mengaku pegawai media Australia yang terjebak membantu teror pemerintah Suriah. Orang-orang kejam itu terus menghakimiku atau melempar beberapa tomat ke wajahku.


Ingin rasanya aku menangis atau memeluk ibuku. Belum sempat terlintas dalam benakku menjadi bagian atau korban masyarakat Allepo. Di sebuah tahanan di bawah tanah, aku tampak seperti orang gila menyesali perbuatan ini. Dengan baju seadanya atau luka yang tidak pernah kering hampir dua bulan lamanya.


Bashar Al-Assad memutuskan hukuman untukku agar dikurung atau di siksa selama satu tahun. Barulah setelah itu mereka akan memastikan hukuman yang mungkin akan membuat nayawaku hilang dalam beberapa saat. Berada disana dalam beberapa waktu membuatku mulai memahami bahasa yang mereka gunakan. Setiap penjaga wanita dalam satu minggu selalu datang atau membriku pakaian baru.


Saat itu aku meminta salah satunya untuk memberikanku ponsel dengan koneksi internetnya. Setelah ponsel sampai ditanganku, ternyata koneksi diruangan ini terbentur dengan dinding tebal. Aku mulai mengetik gmail atau passwordku, agar nantinya dia yang akan membuka atau memeriksa reaksi dari gmail yang telah aku kirim. Malam harinya penjaga wanita menghampiriku memberikan ponsel, kulihat pesan dari teman redaksi dengan infomasi atas kematianku di Allepo pada saat mencari berita telah beredar luas di Australia atau Indonesia.


Ku tulis semua pernyataan tentang kepalsuan kematianku. Namun banyak orang yang tidak percaya atau menggapnya sebagai hacker yang telah mengambil akun sang pemilik. Yang bisa aku harapkan kini adalah bantuan dari pemerintahan Indonesia. Semua pesan dengan jelas aku tulisakan tentang keberadaanku selama ini.


Pesan yang telah aku kirim sudah satu minggu berlalu, atau belum mendapatkan tanggapan dari siapapun. Seandainya keluargaku masih hidup, mungkin aku tidak mungkin menderita seperti ini. Aku hanya bisa mengembalikkan ponsel itu kepada penjaga wanita, setelah itu berterima kasih padanya telah membantu atau merawatku selama ini. Wanita berkulit cokelat dengan hidung mancungnya memegangi tanganku di jeruji besi.


“Where’s Indonesian people honey?” Tanyanya sambil menangis


Pertanyaan itu membuatku tersentak atau menangis dengan kerasnya. Selama lima menit dia memegangiku atau mencoba menenangkanku. Usai kejadian itu, aku tidak bertemu lagi dengannya. Terakhir kali dia berkata akan melawan Bashar Al-Assad demi membebaskanku. Meskipun itu hanya akan membuatnya jauh lebih menderita.


Dalam ruangan gelap atau udara sesak, aku hanya bisa menangisi takdir yang tengah aku hadapi. Sekalipun hari-hari yang ku lalui memang berat, namun setidaknya aku bersyukur telah dikenang sebagai seorang jurnalis yang runtuh di medan perang. Bukan sebagai pegawai media yang membantu pemberontakkan di Suriah. Aku kembali tertidur di atas lantai yang gelap, merengek kesakitan dengan sisa-sisa harapan kehidupan.       


  


 


 


 

❮ sebelumnya
selanjutnya ❯
CeritaFiksi
+
<<
login/register to comment
×
  • ic_write_new.png expos
  • ic_share.png rexpos
  • ic_order.png urutan
  • sound.png malsa
  • view_list1.png list
  • ic_mode_light.png light
× rexpos
    ic_posgar2.png tg.png wa.png link.png
  • url:
× urutan
ic_write_new.png ic_share.png ic_order.png sound.png view_masonry.png ic_mode_light.png ic_other.png
+